Perjanjian Internasional

Wednesday, July 12, 2006

Resume; Pembuatan dan Ratifikasi Perjanjian Internasional serta Permasalahannya


Rèsumé par Iqbalshofwan

PEMBUATAN DAN RATIFIKASI PERJANJIAN INTERNASIONAL SERTA PERMASALAHANNYA.[1]

Pengantar
Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiaplan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakanlah suatu Konferensi Internasional di Wina dari 26 Maret s/d 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasi hukum kebiasaan tersaebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum internasional positif. Sampai akhir tahun 2000, sudah 95 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut. Walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada Konvensi tersebut, namun ketenutan-ketentuan yang terdapat di dalamnya selalu dijadikan dasar dan pedoman dalam membuat perjanjian-perjanjian internasional dengan negara-negara lain.

Aplikasi di Indonesia
Di Indonesia, hal yang melandasi tentang pembuatan dan ratifikasi perjanjian adalah pasal 11 UUD 1945 yang berbunyi: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Jika kita lihat lebih lanjut, 10 s/d 15 UUD 1945, disebutkan bahwa kekuasaan Presiden sebagai konsekwensi dari kepala negara. Artinya bahwa tugas tersebut merupakan hak prerogratif dari Presiden, yang berarti pula tugas yang melekat pada Presiden sebagai Kepala Negara yang bukan merupakan tugas Pemerintah.

Sampai akhir tahun 2000 pasal 11 UUD 1945 ini belum dijabarkan dalam bentuk undang-undang dan satu-satunya penjelasan dari pasal 11 tersebut adalah Surat Presiden 2826/HK/60, tanggal 22 Agustus 1960, yang ditujukan kepada Ketua DPR, tentang pembuatan perjanjian dengan negara-negara lain.

Surat Presiden ini memberikan penafsiran bahwa ada dua macam bentuk perjanjian yaitu traktat dan agreements. Jadi ada dua cara pengesahan dari perjanjian-perjanjian tersebut:

(1) Traktat, pengesahannya melalui DPR dengan Undang-Undang
(2) Persetujuan (Agreements), pengesahannya dengan Keputusan Presiden dan
DPR hanya cukup diberitahukan oleh Sekretariat Kabinet.

Oleh karena itu, Pemerintah hanya akan menyampaikan ke DPR perjanjian-perjanjian yang terpenting saja dalam bentuk treaty untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum disahkan oleh Presiden. Perjanjian-perjanjian ini biasanya mengandung materi :
1. Soal-soal politik atau soal-soal yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti halnya dengan perjanjian-perjanjian persahabatan, perjanjian persekutuan (aliansi), perjanjian tentang perubahan wilayah atau penetapan tapal batas]
2. Ikatan-ikatan yang sedemikian rupa sifatnya sehingga mempengaruhi haluan politik luar negeri dapat terjadi bahwa ikatan-ikatan sedemikian dicantumkan di dalam perjanjian kerjasama ekonomi dan teknis atau pinjaman keuangan.
3. Soal-soal yang menurut Undang-Undang Dasar harus diatur dengan Undang-undang seperti soal-soal Kehakiman

Hal ini berdampak pada, bila pemerintah mengambil kebijaksanaan untuk mensahkan perjanjian melalui UU dan mensahkan persetujuan melalui Keppres sesuai dengan Surat Presiden 2826 tersebut, dalam pelaksanaannya Pemernitah akan mensahkan semua persetujuan hanya dengan Keppres dan bukan dengan UU seperti yang sering terjadi. Keseragaman di bidang ini juga diperlukan untuk menghindari kebingungan para pejabat yang bertugas di bidang ­­­­­­­treaty-making process.

Pada era Orde Baru, praktek yang terjadi adalah semua perjanjian keuangan yang dibuat yang berjumlah puluhan milyar dollar tidak pernah diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan. Keadaan ini melanggar ketentuan yang terdapat dalam Surat Presiden 2826 dan yang mendapat kritikan tajam dan kecaman pedas anggota DPR terhadap pemerintah pada waktu diajukannya RUU tentang Perjanjian Internasional pada bulan Mei 2000

Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional
Untuk mendapatkan kepastian hukum dan mencegah terulangnya penyelewengan dalam pembuatan perjanjian internasional, maka perlu kiranya untuk membuat suatu undang-undang perjanjian internasional. Setelah melalui pembahasan yang intensif mulai tanggal 4 Mei 2000 akhirnya melalui Rapat Paripurna DPR-RI menyetujui RUU tentang Perjanjian Internasional pada tanggal 30 Agustus 2000.

Sistematika pokok materi yang diatur dalam Undang-Undang tidak mengalami perubahan dan sama seperti yang diajukan oleh Pemerintah, yaitu Bab I (ketentuan Umum), Bab II (Pembuatan Perjanjian Internasional), Bab III (Pengesahan Perjanjian), Bab IV (Pemberlakuan Perjanjian Internasional), Bab V (Penyimpanan Perjanjian Internasional), Bab VI (Pengahiran Perjanjian Internasional), Bab VII (Ketentuan Peralihan), Bab VIII (Ketentuan Penutup).

Dijelaskan pula bahwa pengesahan perjanjian internasional melalui undang-undang dilakukan berdasarkan materi perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama (nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian internasional dengan undang-undang

Sebaliknya, pengesahan perjanjian-perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori perjanjian internasional di atas, dilakukan dengan Keputusan Presiden (pasal 11) dan salinannya disampakan kepada DPR untuk dievaluasi. Jenis-jenis perjanjian yang pengesahannya melalui Keputusan Presiden pada umumnya memiliki materi yang bersifat prosedural dan memerlukan penerapan dalam jangka waktu singkat tanpa mempengaruhi peraturan perundang-undangan nasional. Diantaranya adalah perjanjian induk yang menyangkut kerjasama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi dan teknik, perdagangan, kebudayaan, pelayaran niaga, kerjasama penghindaran pajak berganda dan kerjasama perlindungan penanaman modal, serta perjanjian-perjanjian yang bersifat teknis lainnya.

Selanjutnya disamping perjanjian-perjanjian yang disahkan dengan undang-undang atau Keppres, Indonesia juga dapat membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah penandatanganan. Pasal 15 ini menyangkut instrumen-instrumen hukum yang kurang formal seperti MoU, agreed minutes, exchange of notes or letters dan lainnya.



[1] Dr. Boer Mauna, Disampaikan pada Seminar Kajian Teoritis dan Implementasi Terhadap Undang-Undang No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Padang, 1 Juli 2006